Kamis, 23 Jan 2025
Home
Search
Menu
Share
More
Juli kamalludin pada Berita
2 Des 2024 14:58 - 4 menit reading

Kehidupan Sejengkal Dibawah Beton Raksasa : Potret Masyarakat Jakarta di Kolong Tol Angke

Jakarta, kota megapolitan dengan gedung-gedung tinggi dan infrastruktur modern, menyimpan paradoks kehidupan. Di balik kemegahan tersebut, ada kelompok masyarakat yang hidup di bawah bayang-bayang kemewahan, secara harfiah dan metaforis. Salah satu potret kehidupan tersebut dapat ditemukan di kolong Tol Angke, tempat di mana masyarakat dengan segala keterbatasan bertahan hidup.

Artikel ini akan membahas realitas kehidupan di kolong Tol Angke, mulai dari kondisi lingkungan, tantangan yang dihadapi, hingga perjuangan mereka untuk tetap bertahan.


Hidup di Bawah Bayang-bayang Beton

Potret Lingkungan Kolong Tol Angke

Kolong Tol Angke bukanlah tempat yang dirancang untuk menjadi hunian. Gelap, lembap, dan berisik akibat lalu lintas kendaraan di atasnya. Namun, bagi sebagian masyarakat Jakarta, ruang ini menjadi satu-satunya tempat untuk berteduh.

Struktur tempat tinggal di sini umumnya sederhana dan terbuat dari bahan-bahan seadanya, seperti seng, kayu, terpal, dan triplek. Rumah-rumah ini berimpitan, menciptakan lingkungan yang padat dan minim ventilasi. Tidak ada sistem sanitasi yang memadai, sehingga limbah domestik sering kali mencemari lingkungan sekitar.

Kondisi ini diperburuk oleh ancaman banjir yang kerap melanda saat musim hujan. Air yang menggenang membawa lumpur dan sampah, memperparah kebersihan dan kesehatan warga.

Keterbatasan Akses Fasilitas Dasar

Hidup di kolong tol berarti harus menghadapi keterbatasan akses terhadap fasilitas dasar. Air bersih sulit didapat, sehingga banyak warga bergantung pada air yang diambil dari sumber tidak layak konsumsi. Listrik sering kali berasal dari sambungan ilegal, dengan risiko tinggi terhadap kebakaran.

Pendidikan juga menjadi tantangan besar. Anak-anak di komunitas ini jarang mendapatkan akses pendidikan yang memadai, karena biaya sekolah dianggap terlalu mahal oleh keluarga mereka. Hal ini menciptakan siklus kemiskinan yang sulit diputus.


Pekerjaan dan Ekonomi Komunitas Kolong Tol

Mencari Penghasilan di Tengah Keterbatasan

Sebagian besar penghuni kolong Tol Angke bekerja di sektor informal. Mereka adalah pemulung, pedagang asongan, buruh harian, atau tukang ojek yang pendapatannya tidak menentu. Pendapatan harian mereka sering kali hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan, tanpa ada sisa untuk tabungan atau kebutuhan mendesak lainnya.

Selain itu, banyak dari mereka yang terjebak dalam utang akibat pinjaman dari rentenir dengan bunga tinggi. Situasi ini membuat kehidupan mereka semakin sulit, karena pendapatan mereka lebih banyak digunakan untuk melunasi utang daripada memenuhi kebutuhan dasar.

Peran Perempuan dalam Kehidupan Ekonomi

Perempuan di komunitas ini sering kali harus mengambil peran ganda. Selain mengurus rumah tangga, mereka juga bekerja untuk menambah penghasilan keluarga. Banyak dari mereka menjadi pemulung atau menjual makanan kecil di sekitar kolong tol. Peran mereka sangat penting, meskipun sering kali tidak diakui atau dihargai secara setara.


Tantangan Sosial dan Kesehatan

Dampak Psikologis dan Stigma Sosial

Hidup di kolong tol tidak hanya menimbulkan tantangan fisik, tetapi juga tekanan psikologis. Para penghuni sering merasa dikucilkan oleh masyarakat karena stigma negatif yang melekat pada mereka. Mereka dianggap sebagai kelompok marginal yang tidak layak mendapatkan perhatian.

Anak-anak di komunitas ini juga menghadapi perundungan di sekolah karena latar belakang mereka. Hal ini sering kali membuat mereka kehilangan kepercayaan diri dan motivasi untuk meraih masa depan yang lebih baik.

Masalah Kesehatan

Kehidupan di lingkungan yang kotor dan minim fasilitas kesehatan membuat penghuni kolong tol rentan terhadap berbagai penyakit, seperti infeksi saluran pernapasan, diare, dan penyakit kulit. Polusi udara dari kendaraan di atas tol juga memperburuk kondisi kesehatan mereka.

Minimnya akses ke layanan kesehatan memaksa mereka mengandalkan pengobatan tradisional atau menunda perawatan medis hingga situasi menjadi kritis.


Upaya Bertahan dan Harapan Masa Depan

Solidaritas Komunitas

Di tengah segala keterbatasan, masyarakat kolong Tol Angke menunjukkan solidaritas yang luar biasa. Mereka saling membantu satu sama lain, baik dalam bentuk materi maupun dukungan emosional. Misalnya, jika ada yang sakit atau menghadapi kesulitan, warga lain akan berusaha membantu sesuai kemampuan mereka.

Beberapa organisasi sosial dan relawan juga mulai memberikan perhatian kepada komunitas ini. Mereka menyediakan bantuan makanan, pakaian, dan pendidikan bagi anak-anak, meskipun upaya ini masih jauh dari cukup untuk mengatasi akar permasalahan.

Peran Pemerintah dan Kebijakan Publik

Mengatasi masalah ini membutuhkan peran aktif pemerintah. Program perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, pelatihan kerja, serta akses pendidikan dan kesehatan yang lebih baik harus menjadi prioritas.

Pemerintah daerah juga dapat bekerja sama dengan organisasi non-pemerintah (NGO) untuk menciptakan solusi yang berkelanjutan, seperti membangun hunian sementara yang layak atau menyediakan tempat tinggal permanen bagi komunitas ini.


Kesimpulan

Kehidupan di kolong Tol Angke adalah potret nyata ketimpangan sosial yang terjadi di Jakarta. Di satu sisi, kota ini terus berkembang dengan infrastruktur modern, tetapi di sisi lain, ada kelompok masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan tanpa akses yang memadai terhadap kebutuhan dasar.

Melihat kehidupan di kolong tol seharusnya mengingatkan kita akan pentingnya keadilan sosial. Setiap orang berhak atas tempat tinggal yang layak, akses pendidikan, dan pelayanan kesehatan, tanpa terkecuali. Perubahan tidak akan terjadi dalam semalam, tetapi langkah kecil, baik dari masyarakat maupun pemerintah, dapat memberikan harapan bagi mereka yang hidup sejengkal di bawah beton raksasa ini.