Jumat, 21 Mar 2025
Home
Search
Menu
Share
More
Juli kamalludin pada Berita
6 Mar 2025 11:50 - 6 menit reading

AS Dakwa 12 Warga Negara China Atas Tuduhan Meretas Lembaga-Lembaga Amerika untuk Beijing

Pada awal Maret 2025, Amerika Serikat (AS) resmi mendakwa 12 warga negara China atas tuduhan terlibat dalam serangkaian serangan dunia maya yang menargetkan berbagai lembaga dan perusahaan penting di AS. Tindakannya disebut sebagai bagian dari upaya yang lebih luas untuk meretas sistem dan infrastruktur penting demi mengakses informasi yang berguna bagi pemerintah Beijing. Peretasan ini melibatkan berbagai lembaga pemerintah, perusahaan teknologi besar, lembaga penelitian, hingga sektor-sektor yang berkaitan dengan pertahanan dan teknologi canggih. Kasus ini menambah daftar panjang ketegangan yang terjadi antara AS dan China dalam beberapa tahun terakhir terkait masalah siber dan pengaruh global.

Tuduhan yang Dikenakan dan Detail Dakwaan
Departemen Kehakiman AS (DOJ) mengungkapkan bahwa 12 warga negara China yang terlibat dalam peretasan ini merupakan bagian dari kelompok yang dikenal dengan nama “APT10” atau “Stone Panda,” sebuah kelompok peretas yang telah lama menjadi target perhatian pihak berwenang AS. Kelompok ini diduga memiliki hubungan langsung dengan pemerintah China, dan serangan yang mereka lakukan diorganisir serta didorong oleh kepentingan strategis negara tersebut.

Kelompok APT10 telah lama dikenal sebagai salah satu aktor ancaman siber yang paling canggih dan berbahaya. Mereka dituduh melakukan peretasan yang melibatkan penggunaan teknik-teknik lanjutan, termasuk serangan spear-phishing, malware yang disusupi dalam perangkat lunak, serta eksploitasi kerentanannya dalam sistem keamanan perusahaan dan lembaga pemerintah AS. Para terdakwa diduga bertanggung jawab atas mencuri data dan informasi sensitif yang mencakup segala hal dari teknologi canggih hingga penelitian ilmiah yang dapat memberikan China keunggulan dalam bidang teknologi dan industri.

Menurut laporan dari DOJ, data yang dicuri sering kali berupa informasi yang berkaitan dengan penelitian teknologi tinggi, desain produk, serta data terkait sektor pertahanan. Beberapa lembaga yang menjadi target termasuk perusahaan-perusahaan besar di sektor teknologi, lembaga pemerintah yang berhubungan dengan keamanan dan pertahanan nasional, serta organisasi-organisasi riset yang bekerja dalam bidang bioteknologi dan energi terbarukan.

Sebagai bagian dari operasi ini, kelompok APT10 juga diduga melibatkan peretasan terhadap sistem yang digunakan oleh lembaga-lembaga riset di AS untuk mengakses teknologi yang tidak tersedia untuk umum. Teknik yang digunakan oleh kelompok ini sangat canggih, dengan mereka memanfaatkan perangkat lunak dan kerentanannya untuk memperoleh akses jarak jauh ke dalam sistem yang dilindungi.

Metode Peretasan yang Digunakan
Metode peretasan yang digunakan oleh kelompok ini sangat canggih dan membutuhkan tingkat keahlian teknis yang tinggi. Salah satu teknik yang paling umum digunakan adalah spear-phishing, yaitu pengiriman email yang berisi lampiran atau tautan yang mengarah ke situs web berbahaya. Korban yang membuka email ini biasanya tanpa sadar memberikan akses ke informasi login atau data pribadi yang sangat berharga bagi peretas.

Selain itu, kelompok ini juga dikenal menggunakan remote access tools (RATs), yaitu perangkat lunak yang memungkinkan mereka untuk mengakses sistem komputer yang telah terinfeksi dari jarak jauh tanpa sepengetahuan pemilik sistem. Dengan menggunakan RATs, mereka bisa mengontrol perangkat korban dan mendapatkan informasi sensitif dalam waktu yang lama tanpa terdeteksi.

Peretasan ini sangat terorganisir dan dilakukan dengan sangat hati-hati untuk menghindari deteksi. Dalam beberapa kasus, kelompok ini juga diketahui mengubah sistem yang telah mereka retas untuk menghindari pengawasan lebih lanjut oleh pihak berwenang, sebuah teknik yang dikenal dengan istilah “counter-forensics”.

Dampak terhadap Keamanan Nasional dan Ekonomi AS
Serangan siber yang dilakukan oleh kelompok ini menimbulkan kekhawatiran besar terhadap keamanan nasional AS. Data yang berhasil dicuri bukan hanya berdampak pada perusahaan-perusahaan yang menjadi target, tetapi juga dapat merusak posisi AS dalam persaingan global, terutama dalam bidang teknologi canggih. Keberhasilan China dalam memperoleh teknologi baru dan informasi sensitif melalui peretasan ini memberi negara tersebut keunggulan yang signifikan dalam bidang riset dan pengembangan, yang bisa memperkuat posisi China dalam sektor-sektor strategis global.

Jaksa Agung AS, Merrick Garland, dalam pernyataannya menegaskan bahwa peretasan ini mengancam tidak hanya sektor bisnis, tetapi juga keamanan nasional AS. “Serangan siber yang kami hadapi tidak hanya mencuri data, tetapi juga merusak integritas dan kepercayaan dalam sistem yang mendasari perekonomian kami,” ujar Garland. Ia menambahkan bahwa AS berkomitmen untuk bekerja sama dengan negara-negara sekutu untuk menangani ancaman dunia maya yang semakin kompleks ini.

Serangan ini juga memengaruhi industri pertahanan dan teknologi tinggi, yang sangat bergantung pada keamanan data untuk mengembangkan produk baru dan melindungi rahasia negara. Jika informasi mengenai sistem pertahanan dan teknologi canggih jatuh ke tangan pihak yang salah, ini bisa mengarah pada kerugian strategis yang besar dalam konteks global.

Respons dari Pemerintah AS dan Internasional
Tindak lanjut dari dakwaan ini menggambarkan komitmen pemerintah AS dalam melawan ancaman dunia maya yang semakin meningkat, khususnya yang datang dari negara-negara besar seperti China. Selain tindakan hukum terhadap individu yang terlibat, AS juga berusaha memperkuat kerjasama internasional dengan negara-negara sekutu dalam rangka membentuk aliansi untuk melawan ancaman siber yang didorong oleh negara. Banyak negara telah membentuk kebijakan dan infrastruktur pertahanan siber yang lebih kuat untuk melindungi data dan informasi sensitif mereka.

Pemerintah AS juga menegaskan akan terus mengintensifkan investigasi terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam peretasan ini, dengan tujuan mengungkapkan jaringan peretasan yang lebih besar yang mungkin ada. Selain itu, AS juga mengajak sektor swasta untuk lebih memperkuat sistem keamanan mereka guna menghadapi potensi ancaman yang lebih besar di masa depan.

Reaksi Beijing dan Tanggapan Resmi
Tanggapan dari pemerintah China sangat tegas dan tetap konsisten. Beijing membantah tuduhan tersebut dan menganggapnya sebagai bagian dari upaya AS untuk menciptakan ketegangan politik dan merusak hubungan bilateral. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Wang Wenbin, menyatakan bahwa China “selalu menentang dan melawan segala bentuk peretasan dan serangan dunia maya.” Beijing menuduh AS berusaha mengalihkan perhatian dunia dari isu-isu internal mereka dan menggunakan tuduhan ini untuk mendiskreditkan China di mata internasional.

Namun, meskipun China membantah keras keterlibatan langsung pemerintah mereka dalam serangan ini, para ahli internasional masih meyakini bahwa kelompok-kelompok peretas ini memiliki hubungan erat dengan pemerintah China, mengingat metodologi yang canggih dan tujuan strategis yang terlihat jelas. Para pengamat global berpendapat bahwa serangan ini adalah bagian dari strategi lebih luas untuk memperoleh keunggulan dalam teknologi dan memperkuat posisi China di kancah internasional.

Kesimpulan: Ancaman dan Ketegangan yang Semakin Meningkat
Kasus ini menambah ketegangan yang sudah ada antara AS dan China dalam beberapa tahun terakhir, baik dalam bidang perdagangan, teknologi, maupun geopolitik. Dunia maya kini telah menjadi medan pertempuran baru dalam persaingan global, dengan negara-negara besar seperti AS dan China saling berlomba untuk memperoleh informasi yang dapat memberikan keuntungan strategis.

Dalam jangka panjang, insiden ini menunjukkan bahwa peretasan yang dilakukan oleh aktor negara akan semakin menjadi ancaman nyata bagi stabilitas global. Negara-negara yang terlibat dalam serangan dunia maya akan terus berlomba untuk mengembangkan teknologi dan kemampuan siber yang lebih canggih. Sementara itu, negara-negara yang menjadi sasaran serangan siber harus meningkatkan pertahanan dan kebijakan keamanan mereka guna melindungi data dan sistem kritikal dari ancaman yang terus berkembang.

Bagi AS, kasus ini bukan hanya soal melawan peretasan, tetapi juga soal mempertahankan posisi global mereka di tengah persaingan dengan China yang semakin intensif. Dengan peretasan ini, dunia kini lebih menyadari betapa pentingnya menjaga keamanan dunia maya di era digital yang semakin berkembang.