Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melaporkan bahwa hingga akhir 2024, ada sekitar 115 daerah yang mengajukan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada). Jumlah ini mencerminkan besarnya ketegangan politik pasca-pemilihan, di mana para kandidat yang tidak puas dengan hasil akhirnya memilih untuk menempuh jalur hukum. Hal ini tentunya menjadi perhatian serius bagi penyelenggara pemilu dan masyarakat umum. Dari total 115 daerah yang mengajukan perselisihan, sebagian besar berasal dari dua provinsi, yaitu Sumatera Utara (Sumut) dan Sumatera Barat (Sumbar), yang mencatatkan jumlah pengajuan sengketa terbanyak. Fenomena ini menandakan adanya dinamika politik yang sangat sengit dalam Pilkada 2024.
Pilkada yang berlangsung di 115 daerah tersebut memang penuh dengan tantangan, di mana kandidat yang merasa dirugikan dengan hasil perhitungan suara langsung mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Proses pengajuan sengketa Pilkada ini merupakan bagian dari mekanisme demokrasi yang memberi kesempatan kepada pihak-pihak yang merasa hak-haknya terabaikan untuk memperjuangkan keadilan.
Jumlah 115 daerah yang mengajukan perselisihan hasil Pilkada 2024 ini terbilang cukup tinggi dibandingkan dengan Pilkada di tahun-tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan betapa ketatnya persaingan politik, terutama di daerah-daerah dengan polarisasi yang tinggi, seperti di Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Di kedua provinsi ini, beberapa kabupaten dan kota menyaksikan persaingan yang sangat sengit antara calon kepala daerah, yang pada akhirnya menghasilkan perbedaan hasil yang signifikan.
Dari data yang tercatat di Kemendagri, Sumatera Utara (Sumut) dan Sumatera Barat (Sumbar) muncul sebagai provinsi dengan pengajuan gugatan terbanyak. Sumut, yang memiliki jumlah pemilih terbesar di luar Pulau Jawa, menjadi pusat perhatian karena intensitas persaingan politik yang tinggi. Beberapa kabupaten di Sumut, seperti Medan, Deli Serdang, dan Sibolga, menyaksikan perselisihan sengit mengenai hasil Pilkada.
Selain itu, wilayah ini juga seringkali menjadi tempat terjadinya perpecahan politik antara kandidat yang didukung oleh berbagai kelompok etnis dan masyarakat. Hal ini membuat proses perhitungan suara menjadi semakin kompleks dan memicu dugaan kecurangan, baik dalam penghitungan suara maupun dalam proses administrasi.
Sumatera Barat (Sumbar), dengan karakter politik yang sangat dinamis, juga mencatatkan pengajuan sengketa hasil Pilkada yang cukup banyak. Provinsi ini dikenal dengan kentalnya budaya politik lokal, di mana perbedaan pendapat dan afiliasi politik bisa memicu ketegangan sosial. Di Sumbar, gugatan hasil Pilkada lebih sering terkait dengan dugaan pelanggaran prosedural dan kecurangan yang terjadi selama proses kampanye dan pemungutan suara.
Ada beberapa faktor yang dapat menjelaskan mengapa jumlah gugatan hasil Pilkada meningkat, khususnya di daerah seperti Sumut dan Sumbar. Pertama, tingginya tingkat persaingan antara kandidat yang bersaing ketat dalam memperebutkan posisi kepala daerah menyebabkan masing-masing pihak merasa perlu untuk mempertahankan kemenangan mereka dengan segala cara. Ketika hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan harapan, mereka lebih cenderung untuk menempuh jalur hukum untuk mendapatkan keadilan.
Kedua, kemajuan teknologi dan media sosial berperan besar dalam memperbesar kesadaran publik mengenai dugaan pelanggaran yang terjadi selama Pilkada. Sebaran informasi yang sangat cepat dan masif di media sosial seringkali membuat ketidakpuasan dan kecurigaan terhadap proses Pilkada menjadi lebih terbuka. Hal ini mendorong masyarakat dan kandidat untuk lebih aktif dalam mengajukan gugatan jika merasa ada yang tidak beres dalam pelaksanaan Pilkada.
Ketiga, lemahnya pengawasan internal dan eksternal selama proses Pilkada bisa menjadi penyebab munculnya ketidakpuasan. Meski Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah bekerja keras untuk memastikan proses Pilkada berlangsung dengan jujur dan adil, masih ada celah yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk menuntut hasil yang lebih menguntungkan. Proses administrasi yang kadang terburu-buru atau tidak transparan pun bisa menimbulkan potensi sengketa.
Meskipun sengketa hasil Pilkada merupakan bagian dari proses demokrasi yang sehat, namun jika tidak ditangani dengan baik, hal ini dapat memiliki dampak yang cukup besar terhadap stabilitas politik di daerah. Proses hukum yang memakan waktu lama seringkali menyebabkan ketidakpastian politik, terutama bagi daerah yang sedang menggugat hasil Pilkada. Akibatnya, pemerintahan di daerah tersebut bisa terganggu, dan kegiatan pemerintahan menjadi terhambat.
Selain itu, tingginya jumlah perselisihan hasil Pilkada juga bisa memperburuk polarisasi politik yang sudah ada. Ketegangan antara kubu pendukung calon yang berbeda semakin menguat, dan perpecahan sosial bisa lebih sulit untuk disembuhkan. Dalam jangka panjang, ini dapat mengganggu proses pembangunan daerah dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi yang ada.
Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki peran penting dalam menyelesaikan perselisihan hasil Pilkada. Sebagai lembaga yang berwenang menangani sengketa pemilu, MK bertugas untuk memastikan bahwa proses Pilkada berlangsung dengan jujur dan adil. MK memiliki prosedur yang jelas dalam memeriksa dan mengadili gugatan hasil Pilkada, mulai dari verifikasi administrasi hingga pemeriksaan bukti yang diajukan oleh pihak yang menggugat.
Dalam beberapa kasus, MK bisa memutuskan untuk membatalkan hasil Pilkada atau bahkan memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang jika terbukti ada pelanggaran yang cukup signifikan dalam proses pemilihan. Namun, MK juga harus memastikan bahwa keputusan yang diambil benar-benar berdasarkan fakta dan bukti yang sah, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan dalam proses tersebut.
Meski sengketa Pilkada menjadi hal yang wajar dalam demokrasi, penting untuk menjaga stabilitas politik dan sosial agar tidak terjadi ketegangan yang berlarut-larut. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), KPU, dan Bawaslu diharapkan dapat bekerja lebih keras dalam memastikan seluruh proses Pilkada berjalan dengan transparan dan adil. Selain itu, pendidikan politik kepada masyarakat juga perlu ditingkatkan, sehingga masyarakat bisa lebih memahami prosedur Pilkada dan tahu hak-hak mereka dalam memilih kepala daerah.
Pihak-pihak yang terlibat dalam Pilkada juga perlu mengedepankan semangat sportivitas dan saling menghargai hasil yang telah ditentukan. Pemerintah daerah yang telah terpilih diharapkan dapat segera menjalankan tugasnya tanpa adanya gangguan yang dapat menghambat proses pembangunan.
Dengan langkah-langkah yang tepat, diharapkan Pilkada di masa depan dapat berjalan lebih lancar, dengan lebih sedikit sengketa dan ketidakpuasan dari berbagai pihak. Pada akhirnya, tujuan utama dari Pilkada adalah untuk menciptakan pemerintahan yang bersih, transparan, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.