Belakangan ini, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menarik perhatian publik dengan memajang sebuah foto ikonik dari mendiang Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso, yang merupakan simbol integritas dalam dunia kepolisian Indonesia. Foto tersebut, yang menggambarkan Hoegeng dengan latar belakang merah putih, disertai dengan pesan kritis yang mengarah kepada partai-partai politik yang dianggap tidak menjunjung tinggi moralitas dan etika dalam berpolitik. Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, kemudian mengeluarkan pernyataan yang lebih menguatkan makna dari foto tersebut, dengan menegaskan bahwa politisi dan aparat negara harus menjunjung tinggi integritas, seperti yang dilakukan oleh Hoegeng. Ia bahkan mengajak para polisi dan politisi untuk “menjadi Polisi Merah Putih, bukan parcok.”
Hoegeng Iman Santoso: Ikon Integritas dan Keadilan
Hoegeng Iman Santoso, yang menjabat sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) pada periode 1968–1971, dikenal oleh banyak pihak sebagai sosok yang sangat berintegritas dan menentang segala bentuk penyimpangan. Selama masa kepemimpinannya, Hoegeng tidak hanya berfokus pada tugas penegakan hukum, tetapi juga berusaha meletakkan dasar moral dalam sistem kepolisian Indonesia. Hoegeng adalah seorang yang sangat tegas dalam menegakkan keadilan, namun tetap menjunjung tinggi prinsip moralitas dalam setiap keputusan yang diambil.
Tidak jarang, Hoegeng menentang kebijakan yang menurutnya melanggar norma-norma hukum dan etika, baik di dalam kepolisian maupun di luar kepolisian. Salah satu ciri khas dari Hoegeng adalah ketegasannya terhadap korupsi. Ia bahkan terkenal dengan kebijakan untuk memberantas tindak pidana yang melibatkan oknum kepolisian itu sendiri, tanpa pandang bulu. Dengan sikapnya yang tak kenal kompromi terhadap kejahatan, Hoegeng menjadi teladan bukan hanya bagi anggota kepolisian, tetapi juga bagi masyarakat umum, termasuk politisi dan partai-partai politik.
Dalam hal ini, PDIP menampilkan foto Hoegeng bukan hanya sebagai bentuk penghormatan terhadap tokoh legendaris tersebut, tetapi juga sebagai simbol perjuangan untuk menjaga moralitas dan kejujuran dalam dunia politik. PDIP berharap agar publik dapat memahami dan mengambil pelajaran dari integritas yang dijunjung tinggi oleh Hoegeng, sebagai langkah untuk melawan praktik-praktik yang merusak kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kritik PDIP terhadap Partai Cokelat: Mengapa “Partai Cokelat” Disebut?
Dalam unggahan tersebut, PDIP memberikan kritik tajam terhadap fenomena yang ada dalam politik Indonesia saat ini. Istilah “Partai Cokelat” muncul sebagai sindiran terhadap partai-partai politik yang dianggap hanya mementingkan kepentingan pragmatis, tanpa memperhatikan ideologi atau prinsip yang jelas. Sebagai contoh, beberapa partai politik seringkali melakukan manuver politik dengan tujuan meraih kekuasaan, meskipun tidak memiliki program yang jelas untuk mensejahterakan rakyat atau memperbaiki sistem pemerintahan.
Sindiran ini jelas ditujukan untuk menggambarkan partai-partai yang lebih fokus pada pencapaian kekuasaan, sementara etika dan moralitas sering kali terabaikan. “Partai Cokelat” adalah simbol dari politik transaksional, di mana partai politik melakukan koalisi dan tawar-menawar untuk keuntungan jangka pendek, tanpa memperhatikan dampak jangka panjang bagi bangsa dan negara. PDIP, dengan memajang foto Hoegeng, berusaha menunjukkan bahwa dalam politik, integritas dan komitmen terhadap rakyat jauh lebih penting daripada sekadar mencari kekuasaan.
Namun, kritik ini tentu saja dapat dilihat sebagai bentuk pernyataan politik PDIP menjelang Pemilu 2024, yang semakin dekat. Memang, dalam dunia politik Indonesia, persaingan antarpartai semakin memanas. Setiap partai berlomba-lomba meraih perhatian dan mendulang suara, sehingga tak jarang mereka mengeluarkan kritik keras terhadap rival-rivalnya. Meskipun demikian, bagi PDIP, unggahan ini lebih daripada sekadar serangan politik. Ini adalah seruan untuk kembali kepada nilai-nilai luhur yang mendasari perjuangan bangsa Indonesia.
Hasto Kristiyanto dan Pesan Kritisnya: Polisi Merah Putih, Bukan Parcok
Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, tidak hanya menyampaikan pesan melalui foto Hoegeng, tetapi juga mengeluarkan pernyataan yang mempertegas sikap partainya dalam menghadapi dunia politik Indonesia yang semakin kotor. Hasto dengan tegas mengajak para polisi dan politisi untuk “menjadi Polisi Merah Putih, bukan parcok.” Dalam konteks ini, “Polisi Merah Putih” merujuk pada aparat negara, baik itu polisi atau politisi, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan dan moralitas, yang sesuai dengan semangat Pancasila dan UUD 1945.
Di sisi lain, istilah “parcok” merujuk pada praktik politik kotor dan tidak etis, di mana para politisi atau aparat negara terjebak dalam politik uang, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan demi kepentingan pribadi atau kelompok. Dengan menggunakan istilah ini, Hasto mengingatkan agar tidak ada yang tergoda untuk mengikuti jejak buruk tersebut. Menurut Hasto, menjadi seorang polisi atau politisi bukan hanya soal kekuasaan atau jabatan, tetapi juga soal bagaimana menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab, amanah, dan mengutamakan kepentingan rakyat.
Pernyataan Hasto ini jelas berfungsi sebagai kritik terhadap mereka yang mempermainkan kepercayaan rakyat dengan politik transaksional dan koruptif. Dalam konteks ini, Hasto mengingatkan bahwa negara ini membutuhkan pemimpin yang tidak hanya cerdas dalam berpolitik, tetapi juga memiliki komitmen kuat untuk membangun negara dengan moralitas yang tinggi.
Respon Publik dan Relevansi Kritik
Reaksi terhadap foto Hoegeng dan pernyataan Hasto Kristiyanto ini cukup beragam. Sebagian kalangan mendukung penuh upaya PDIP untuk menegakkan integritas politik di Indonesia. Bagi mereka, ini adalah panggilan untuk kembali kepada nilai-nilai dasar dalam berpolitik, yang berorientasi pada kepentingan rakyat dan moralitas yang tinggi. Di tengah-tengah desakan untuk meraih kekuasaan, partai dan politisi yang jujur dan berintegritas dianggap semakin langka, sehingga kritik seperti ini sangat relevan.
Namun, tidak sedikit pula yang menilai bahwa kritik ini adalah bagian dari strategi PDIP dalam persaingan politik menjelang Pemilu 2024. Beberapa pihak menganggap bahwa sindiran terhadap “Partai Cokelat” ini lebih bersifat politis dan tak terlepas dari upaya untuk mendiskreditkan rival politik PDIP. Meski begitu, banyak yang tetap melihat pesan ini sebagai peringatan agar para politisi dan aparat negara tidak melupakan nilai-nilai moral yang seharusnya dijunjung tinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kesimpulan: Menegakkan Integritas dalam Politik
Melalui unggahan foto Hoegeng dan pernyataan Hasto Kristiyanto, PDIP seakan ingin mengingatkan seluruh elemen bangsa bahwa integritas, moralitas, dan komitmen terhadap kepentingan rakyat adalah hal yang tak boleh dilupakan dalam dunia politik. Di tengah maraknya praktik politik pragmatis dan koruptif, PDIP berusaha menegaskan kembali bahwa politik yang sehat harus berlandaskan pada nilai-nilai yang lebih tinggi, seperti yang dicontohkan oleh Hoegeng.
Bagi PDIP, foto Hoegeng dan pernyataan Hasto adalah panggilan untuk kembali ke jalan yang benar dalam berpolitik, yaitu berpegang teguh pada nilai-nilai kebangsaan, kejujuran, dan keadilan. Hanya dengan cara inilah Indonesia bisa mencapai masa depan yang lebih baik, di mana kepentingan rakyat diutamakan di atas segalanya, dan integritas politik kembali menjadi pijakan utama bagi para politisi dan aparat negara.